Anda pasti banyak yang tahu nama-nama hari pasaran di Jawa, ada Wage-Kliwon-Legi-Pahing-Pon-Wage-Kliwon dst..berulang seperti senin-selasa-rabu dst. Jumlah hari pasaran ada 5 makanya kalau pas hari pasaran "Wage" dan dan jatuh pada hari "Kamis" maka disebut "Kamis-Wage" esoknya "Jum'at-Kliwon" dan seterusnya. Hari pasaran ini akan berulang setiap 35 hari sekali, dan ini disebut "Selapan" yakni misalnya dari "Kamis-Wage" ke kamis wage lagi.
Di kampung kami yang berada di pegunungan sebelah utara kabupaten Banjarnegara, tepatnya di dataran tinggi yang namanya Karangkobar, tempat saya dilahirkan, pedagang yang keliling dari pasar ke pasar yang kebetulan letaknya berbeda-beda kecamatan adalah pemandangan unik yang bisa kita lihat sehari-hari.
Pasaran Kliwon Ibu saya ke pasar Kalibening yang letaknya sekitar 25km dari rumah kami, Legi ke pasar Karangkobar, Pahing ke pasar kecamatan Batur 20an km, Pon ke Pasar Sibebek (kecamatan wanayasa) dst.
Aktivitas itu berjalan mungkin sudah ratusan tahun berjalan, hingga ke ayah saya, diteruskan ke Ibu saya hingga saat ini, masih terus berjalan, makanya dari hari kehari ada suasana yang selalu berbeda-beda, mengikuti ritme hari2 pasaran, misalnya aliran mobil di kampung kami kalau hari Kliwon akan bergerak ke arah utara dan dimulai semenjak subuh, nanti kalau wage kearah timur dan agak sedikit lebih siang, tapi tetap masih waktu pagi yang gelap remang2.
Ketika menulis ini saya sedang ada di kampung dan kebetulan hari-nya Wage. Pasaran wage Ibu pergi ke Pasar Pejawaran (atau kadang disebut juga pasar Penusupan) sekitar 10km dari rumah. Mengamati aktivitas Ibu ternyata cukup menarik untuk dituliskan.
Ibu sudah bangun Jam 3 pagi, dan tidak lama terdengar sayup2 suara khas beliau membaca Alqur'an. Tidak merdu tapi sanggup menembus ke alam tidur saya, tinggi rendah dan jeda lantunan bacaan Alquran-nya yang khas seakan menancap di kepala dan bisa saya ingat hingga saat ini. Setelah selesai berkumandang adzan subuh dan ibu sudah sholat subuh deru mobil pikup bak terbuka terdengar mendekat kerumah kami, dan terdengar karung2 dagangan dikeluarkan dari rumah, dan dinaikkan ke atas mobil oleh sopir dan keneknya.
Sekarang mobil2 sudah banyak sehingga "loading" ini mudah sekali.
Dulu ketika tahun 90an kebawah , Sebelum mobil2 dikampung banyak seperti sekarang, proses ini adalah proses yang penuh perjuangan. Jarak rumah kami ke jalan raya hanya sekitar 50meter. Meski begitu proses "Loading" dagangan ke mobil ini menjadi proses yang paling tidak saya nikmati, karena mau tidak mau saya harus mengangkat atau menggelindingkan karung2 dan tumbu-tumbu (kotak box terbuat dari bambu) yang besar2 dan berat sekali dan kadang tidak kuat diangkat oleh 2 orang, dan yang paling tidak tahan adalah rasa kantuk dan dingin karena aktivitas ini harus lakukan di pagi buta, saat dimana tidur menjadi ritual yang paling nikmat dan jam2 segitu biasanya kampung kami masih diselimuti kabut tebal, dan suhu dingin sekali dibawah suhu terdingin dari AC2 di kantor yang paling dingin sekalipun, dan dan dari mulut2 kami keluar asap seperti merokok kalau kami menghembuskan nafas..saking dinginnya.
Setelah karung2 atau tumbu2 besar itu kami tempatkan di pinggir jalan, saya bergegas pulang melanjutkan tidur kembali, dan giliran Ibu yang berdiri dipinggir jalan menunggu kadatangan mobil, dan dari kejauhan, di pagi yang hening sesekali terdengar teriakan Ibu yang menyetop kendaraaan pickup atau bak terbuka yang lewat. Apabila pagi2 hujan maka perjuangan Ibu semakin lengkap, karena kalau tidak mendapatkan tempat duduk di depan, maka terpaan angin dingin dan tampias hujan akan terasa sakit dan menusuk tulang, meski mobil bak terbuka itu telah memakai terpal untuk menahan hujan.
(Gambar. Pasar Pejawaran yang ada diatas Bukit)
Pergi ke pasar pejawaran dari saya kecil hingga saat ini ternyata masih relatif sama keadaaanya. Perjalanan 10km dikota = perjalanan mudah 10menit, tapi tidak semudah itu ditempat kami. Untuk sampai di Pejawaran kami harus menempuh perjalanan naik dan menuruni bukit yang terjal sehingga mobil2 bak terbuka yang penuh muatan sekaligus orang itu harus berjalan ektra hati2 dan pelan2. Naik dan turun harus memakai gigi satu, itupun kadang ketika naik sering tidak kuat, sehingga penumpang harus turun untuk mengurangi beban, dan ketika pelan2 mobil sudah sampai puncak maka beberapa waktu kemudian harus menunggu penumpang2 yang turun dan berjalan terengah2 untuk naik ke atas lagi.
(Gambar.Bentuk2 lapak dan lokasinya sangat sederhana dan hanya sedikit ,mengalami perubahan setelah waktu bergerak barangkali setengah abad lebih usia pasar..)
Dan tanjakan2 yang tinggi spt ini tidak hanya satu sehingga naik dan turun seperti ini juga harus berulang2 untuk sampai di pasar. Ketika mobil turun bunyi mesin meraung karena harus di stel ke gigi satu untuk membantu pengereman, dan bunyi rem berdecit disertai bau kampas rem menjadi santapan yang biasa.
Setelah sampai di Pejawaran, untuk sampai di Los Pasar, juga merupakan perjalanan yang cukup nikmat.
Dari tempat pemberhentian mobil (di Pejawaran tidak ada terminal) barang2 diturunkan (Unloading) oleh para kuli2 panggul yang sudah menjadi langganan. Sungguh mereka pekerja2 yang berfisik kuat seperti samson, karena mengakut beban yang berat di punggung dari mobil ke Pasar yang letaknya diatas bukit. Kalau anda terbiasa di kota besar, berjalan kaki membawa badan saja sudah pasti cukup melelahkan, disamping menanjak ketika gerimis jalan ke pasar juga terjal dan licin, karena pasarnya masih tanah seperti tanah kebun yang kalau hujan tanahnya menempel lekat di sandal. Di harin minggu yang cerah itupun anak2 saya ajak kepasar Pejawaran juga dan mereka beberapa kali terjatuh karena jalan licin..hehe..anak kelahiran kota..
Setelah berjalan terengah2 sampai di pasar dagangan pun di bongkar oleh ibu, dan tali2 yang dipakai untuk mengikat karung2 atau tumbu2 berfungsi ganda, yakni menjadi tempat gantungan baju dan hanger2 setelah dibentangkan diantara tiang-tiang di gubug2 pasar. Dan transaksi pun di mulai setelah semua barang di bongkar dari karung2 dan ditata di "rapi".
(Gambar.Sambil berjualan bisa dilihat pemandanga hijau dan segar, di kejauhan tampak ada Gunung Lumbung)
Pasar Pejawaran yang ada di bukit itu adalah pasar yang paling bagus menurut Ibu, karena sambil berjualan Beliau bisa melihat pemandangan indah yang terhampar dibawahnya, dan nun jauh disana terlihat ada puncak gunung, yang disebut Gunung Lumbung, dan di kaki gunung itu almarhum ayah kami pernah mengungsi dari tangkapan belanda selama beberapa bulan. Lamanya proses pengungsian itu membuat hubungan dengan penduduk setempat menjadi sangat baik bahkan melebihi saudara kandung, hingga saat ini pelanggan tetap Ibu kami adalah masyarakat sekitar kaki Gunung Lumbung itu. Mereka adalah bekas pelanggan setia dari ayah kami yang sudah 30tahun yang lalu meninggal, tapi sampai sekarang hubungan baiknya masih berlanjut hingga saat ini.
(Gambar. Menjelang jam 11 pasar sudah mulai sepi dan kami siap2 pulang, terlihat Ibu sedang ada di Arena Bisnisnya)
Menjelang matahari sampai di ubun2 aktivitas pasar selesai dan pedagang mulai bubar, Ibu mengemasi barang2 dagangan dan memasukka kembali ke karung2 dan pulang menuruni bukit. Saat ini adalah musim hujan dan kadangkala hujan turun sepanjang hari, dan pasar yang ada diatas bukit ini kadang dihinggapi awan, jarak pandang yang terbatas dan tidak bisa melihat kaki bukit membuat kita laksana sedang di tengah-tengah arena bisnisnya para dewa-dewi di kahyangan...
Esok hari adalah pasaran Kliwon, dan pagi buta ibu akan berangkat ke pasar yang lebih jauh lagi yakni Pasar Kalibening...selamat berjuang Ibu...
Tidak terasa perjalanan seperti ini sudah dilakukan oleh keluarga kami lebih dari 60an tahun..
Semoga anda terinspirasi..
Salam FUNtastic..!
Hadi Kuntoro
http://hadikuntoro.blogspot.com/
http://rajaselimut.com/
2 komentar:
Kekaguman saya kepada kaum ibu nyaris tiada berbatas. Terutama terhadap kegigihan mereka. Kaum perempuan, selagi hamilpun bisa bekerja teramat keras. Saya bahkan meragukan apakah saya bisa tetap sekeras itu bekerja ketika tubuh saya sedang berada pada situasi 'unik' seperti itu.
wuaaah membaca tulisan pak hadi saya jadi bernostalgia ke masa lalu...ketika sering main ke dieng ke rumah sahabat saya.persis seperti cerita2 pak hadi ini. saya juga pernah diajak ke pasar batur oleh ibunya kawan saya.....tapi wlopun daerah dingin dan mendaki kalo lihat transakasinya mantabh banget pak.orang2 sana paling seneng belanja. terlihat kalo pas pasaran gitu yang pulang dr pasar bawaannya,hasil mborong kaya yg mau lebaran.....salam sukses utk ibu pak hadi. insya alloh suatu hari nanti kami bisa kopdar dg pak hadi dikhayangan yaa..kekekekeke
Posting Komentar